Kemenkes: 5.200 Bayi di Indonesia Terancam Lahir Tuli Setiap Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sekitar 5.200 bayi terancam lahir dalam kondisi tuli.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran pada penduduk usia 5 tahun ke atas di Indonesia sebesar 2,6 persen. Artinya, 2 sampai 3 dari 100 orang berusia di atas 5 tahun mengalami gangguan pendengaran di Indonesia. Sementara angka ketuliannya mencapai 0,09 persen.
"Setiap tahun diperkirakan terdapat 5.200 bayi lahir tuli di Indonesia yang berisiko alami hambatan dalam proses belajar-mengajar dan kemampuan bicara," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti dalam webinar Hari Pendengaran Sedunia 2023 yang diselenggarakan Kemenkes, Rabu (1/3/2023).
Eva menerangkan, infeksi telinga menjadi salah satu penyebab terbanyak kasus gangguan pendengaran pada anak. Diperkirakan sekitar 22,6 persen radang telinga tengah kronik (OMSK) terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun.
Selain akibat infeksi telinga, faktor penyebab lain gangguan pendengaran pada anak dan orang dewasa adalah paparan suara bising. Suara yang terlalu keras merusak sel-sel rambut sensori di dalam telinga bagian dalam.
"Diperkirakan 1 miliar anak muda di dunia berisiko alami gangguan pendengaran terutama karena paparan bising, misalnya mendengarkan musik dan sebagainya, sehingga mengalami gangguan pendengaran," ujar Eva.
"Bahkan disebutkan lebih dari 50% orang berusia 12-35 tahun mendengarkan musik melalui perangkat audio personal seperti MP3, smartphone, dan lain-lain dengan volume kencang yang berisiko menurunkan pendengaran," tambahnya.
Terkait bayi yang lahir dengan gangguan pendengaran, kondisinya bisa semakin mengkhawatirkan karena hingga saat ini pemerintah belum memfasilitasi penyediaan alat implan Koklea yang diperuntukkan sebagai alat bantu dengar bagi bayi baru lahir dengan tuli berat.
"Hingga kini masih ada missing link yang terjadi pada penanganan tuli kongenital. Alat implan Koklea yang diperlukan untuk bayi lahir tuli berat belum disediakan pemerintah atau BPJS," timpal Ketua Komite Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) dr Damayanti Soetjipto, Sp.THT-KL(K).
Karena situasinya seperti itu, lanjut dr Damayanti, banyak bayi tuli yang terpaksa ditelantarkan dan menjadi tuna rungu maupun tuna rungu-wicara. Ini meningkatkan kemungkinan bayi-bayi tersebut memiliki masa depan suram.
"Karena tidak dapat alat implan Koklea yang harganya mencapai Rp200 jutaan. Padahal di luar negeri seperti Malaysia, misalnya, implan Koklea sudah ditanggung oleh pemerintah," kata dr Damayanti.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran pada penduduk usia 5 tahun ke atas di Indonesia sebesar 2,6 persen. Artinya, 2 sampai 3 dari 100 orang berusia di atas 5 tahun mengalami gangguan pendengaran di Indonesia. Sementara angka ketuliannya mencapai 0,09 persen.
"Setiap tahun diperkirakan terdapat 5.200 bayi lahir tuli di Indonesia yang berisiko alami hambatan dalam proses belajar-mengajar dan kemampuan bicara," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti dalam webinar Hari Pendengaran Sedunia 2023 yang diselenggarakan Kemenkes, Rabu (1/3/2023).
Baca Juga
Eva menerangkan, infeksi telinga menjadi salah satu penyebab terbanyak kasus gangguan pendengaran pada anak. Diperkirakan sekitar 22,6 persen radang telinga tengah kronik (OMSK) terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun.
Selain akibat infeksi telinga, faktor penyebab lain gangguan pendengaran pada anak dan orang dewasa adalah paparan suara bising. Suara yang terlalu keras merusak sel-sel rambut sensori di dalam telinga bagian dalam.
"Diperkirakan 1 miliar anak muda di dunia berisiko alami gangguan pendengaran terutama karena paparan bising, misalnya mendengarkan musik dan sebagainya, sehingga mengalami gangguan pendengaran," ujar Eva.
"Bahkan disebutkan lebih dari 50% orang berusia 12-35 tahun mendengarkan musik melalui perangkat audio personal seperti MP3, smartphone, dan lain-lain dengan volume kencang yang berisiko menurunkan pendengaran," tambahnya.
Terkait bayi yang lahir dengan gangguan pendengaran, kondisinya bisa semakin mengkhawatirkan karena hingga saat ini pemerintah belum memfasilitasi penyediaan alat implan Koklea yang diperuntukkan sebagai alat bantu dengar bagi bayi baru lahir dengan tuli berat.
"Hingga kini masih ada missing link yang terjadi pada penanganan tuli kongenital. Alat implan Koklea yang diperlukan untuk bayi lahir tuli berat belum disediakan pemerintah atau BPJS," timpal Ketua Komite Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) dr Damayanti Soetjipto, Sp.THT-KL(K).
Karena situasinya seperti itu, lanjut dr Damayanti, banyak bayi tuli yang terpaksa ditelantarkan dan menjadi tuna rungu maupun tuna rungu-wicara. Ini meningkatkan kemungkinan bayi-bayi tersebut memiliki masa depan suram.
"Karena tidak dapat alat implan Koklea yang harganya mencapai Rp200 jutaan. Padahal di luar negeri seperti Malaysia, misalnya, implan Koklea sudah ditanggung oleh pemerintah," kata dr Damayanti.
(tsa)